Welcome to my Comic Blog

Terima kasih sudah mampir. Silahkan baca-baca dan jangan lupa kasih komentar dan masukannya.

Jumat, 22 Mei 2009

Asyiknya Komik Eropa

Akhir-akhir ini saya semakin sering berkelana dari forum ke forum di internet, khususnya forum yang berhubungan dengan buku. Tujuannya, berburu kembali komik-komik masa lalu terutama komik eropa.

Jika komik yang beredar di Indonesia ini boleh dikategorikan berdasarkan asalnya, maka ada 4 kelompok utama di dalamnya: lokal, Eropa, Amerika dan Jepang. Di antara ke empat kelompok itu, komik Jepang-lah yang kini (dan sudah sejak lebih dari 15 tahun terakhir) mendominasi. Kini mungkin pasar komik Jepang bahkan mencapai hingga 95% dari total seluruh jenis komik yang beredar di Indonesia. Sisanya, yang 5%, dibagi antara komik Amerika dan komik lokal. Komik Amerika masih memiliki sedikit pangsa melalui penerbitan oleh PMK (Superman Batman, Identity Crisis, Teen Titans, dll), sementara komik lokal mengambil sedikit prosentasi dari 5% itu dalam bentuk cetak ulang, komik pendidikan, atau 'menyaru' dalam bentuk komik dengan 'format manga'. Loh! Kemana komik eropa?

Di tahun 80-90-an, komik Eropa memiliki pasar yang cukup dominan. Katakan di awal 80-an, komik Eropa yang banyak diterbitkan oleh PT Indira berhasil memukau pencinta komik dengan ragam serinya. Ada serial petualangan Tintin, Tanguy & Laverdure, si Janggut Merah, Lucky Luke, Bob Morane, dan banyak lagi. Sukses penerbit Indira mempopulerkan komik-komiknya diikuti penerbit-penerbit lain yang juga menjadikan komik Eropa sebagai materi utama penerbitannya. Sebut saja: penerbit AyaMedia dan Misurind. Maka kemudian lebih banyak lagi seri yang kita kenal, diantaranya adalah Steven Sterk, Smurf, Johan & Pirlouit, Agen Polisi 212 dan Bob si Napi Badung. Penerbit lain yang terbilang sukses besar adalah penerbit Sinar Harapan dengan serial Asterix-nya.

Jika komik eropa saat itu demikian populer, boleh jadi sebagian besar karena 'berhutang budi' kepada majalah-majalah yang terlebih dahulu mempopulerkannya melalui cerita bersambung. Majalah HAI yang terbit perdana pada tahun 1976, memuat komik eropa (Storm, Trigan, Arad & Maya,dll) secara bersambung pada hampir separuh dari jumlah halamannya. Ini berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian. Kemudian, tahun 1978, hadir EPPO, yang 100% adalah majalah komik eropa (Komando, Agen 327, Roel Djikstra). Selain 2 majalah ini, komik eropa juga menjadi 'feature' menarik di banyak majalah anak (Bobo, kawanku).

Apa sih yang sebenarnya menarik dari komik eropa? Ini dia (menurut saya):
  1. Gambar: komikus eropa sangat profesional dalam mengerjakan gambarnya. Baik itu gambar dengan gaya clean-line seperti Herge dengan Tintin atau gaya realis seperti Don Lawrence dengan Trigan-nya.
  2. Survey: Contoh paling kentara adalah Tintin yang selalu memiliki kandungan riset di dalam cerita-ceritanya atau kisah Tanguy yang memberikan banyak pengetahuan mengenai seluk beluk pesawat tempur, istilah penerbangan dan politik perancis saat itu. Alhasil dari membaca cerita dengan kandungan riset adalah, pembaca menjadi lebih mawas akan hal-hal baru. Hal-hal yang mungkin tidak bisa diperoleh dengan mudah selain melalui komik. Jika televisi memiliki efek hipnotis dan menidurkan sel-sel otak, komik sebaliknya, merangsang imaginasi. O ya, komik yang baik meningkatkan apresiasi pembaca terhadap seni juga.
  3. Cerita: Dengan riset yang serius, ragam cerita yang dihasilkan akhirnya menjadi kaya, hasilnya adalah cerita dengan plot yang kompleks, serius namun realis (tidak sekedar menangkap penjahat seperti kebanyakan komik lokal atau komik superhero a la amerika).
  4. Ragam: Komik eropa memiliki ragam tema. Jumlahnya bahkan hampir sebanyak seri yang ada.
    • Tintin - wartawan dengan petualangan di berbagai negara
    • Tanguy & Laverdure - tentang pilot pesawat tempur Perancis
    • Si Janggut Merah - tentang Bajak laut abad ke 18 (?)
    • Lucky Luke - koboi
    • Agen Polisi 212 - polisi
    • Bob si Napi Bandung - kehidupan di penjara si bob
    • Roel Djkstra - pemain sepak bola
    • Lampil - penulis cerita
    • Smurf - makluk dengan bahasa smurf-nya
    • dan banyak lagi
  5. Warna: Komik eropa selalu berwarna!
Jadi komik eropa menarik karena memenuhi seluruh prasyarat komik yang baik. Sekarang tidak ada salahnya, selagi masih ada kesempatan, saya akan kembali berburu lagi komik-komik itu, sebelum komik-komik itu akhirnya lenyap ditelan jaman/rayap/kolektor - LOL!

Selasa, 14 Oktober 2008

Seberapa Besar Pasar Komik Indonesia?

Ada satu hal yang sering menjadi pertanyaan saya ketika berpikir tentang komik Indonesia. Seberapa besar sih sebenarnya pasar komik Indonesia?

Ketika pertanyaan ini saya lontarkan kepada beberapa rekan di kantor yang juga suka membaca komik, saya mendapat dua jawaban yang berbeda karena pemahaman pertanyaan yang berbeda. Yang satu menjawab, "Besar sekali dong." Rekan ini menjawab dengan pengertian pasar komik di Indonesia, artinya semua komik yang terbit di Indonesia, termasuk manga, manhua dan komik terjemahan lainnya. Yang lain menjawab pesimis, "Ah ngga lebih dari 100 orang kalee." Rekan yang ini mengacu pada komik yang dibuat oleh komikus Indonesia. Apa benar begitu ya?

Saya sendiri tidak tahu pasti seberapa besar pasar itu sebenarnya. Jika melihat beberapa penerbit mampu menghadirkan beberapa judul secara periodik, dan di toko-toko buku bisa dilihat ratusan judul yang tersedia, ini artinya pasar itu memang ada, dan cukup konsisten menyerap buku-buku itu. Tapi lagi-lagi saya tidak tahu, apakah keragaman judul itu karena sistem "subsidi silang" -- judul yang laku menyokong ongkos produksi judul2 yang kurang laku -- atau murni karena tiap2 judul memiliki pembaca setianya sendiri2.

Keragaman judul buku tentu menjadi daya jual sendiri. Saya ingat kata-kata bos saya di kantor, "Orang lebih suka memilih dari antara 100 barang, meski sebagian besar barangnya tidak terlalu bagus, daripada hanya memilih dari 5 buah barang yang sudah pilihan kualitasnya." Ini psikologi pasar kata bos saya. Saya renungkan, benar juga. Ketika memilah2 komik, kita ingin memiliki power untuk bisa memilih dengan leluasa. Itu yang terjadi dengan komik jepang. Pilhan yang cukup banyak, tema yang beragam, bisa didapat dimana-mana.

Sayangnya, jumlah judul komik Indonesia yang terbit dalam satu waktu tidak cukup banyak, bahkan bisa dibilang bisa dihitung dengan jari (sebelah tangan). Belum lagi bicara tema. Komik Indonesia (sering dicap) miskin tema, tanpa riset, asal-asalan, nggak konsisten, remake doang, dan stigma lain yang kurang menguntungkan. Saya rasa itu nggak (semuanya) bener. Tapi sedikitnya jumlah komik Indonesia yang bisa dipajang bersamaan dalam satu display menjadi disadvantage tersendiri dalam menarik mata pengunjung toko. Saya belum pernah menemukan satu rak atau display di toko buku yang dipenuhi dengan buku2 komik karya komikus Indonesia. Masalah daya tarik ini tentu jadi kendala tersendiri.

Lalu, melihat cukup banyaknya komik Indonesia yang di-remake, saya memperoleh kesan bahwa pasar itu begitu kecil dan tersegmentasi; terkotak hanya untuk para penggemar komik lama. Kotak itu semakin mengecil ketika komik-komik Indonesia dijual dengan harga yang lebih mahal dari saingannya (yang notabene adalah komik jepang) dengan jumlah halaman yang lebih sedikit. Yang menyedihkan, saya pernah melihat remake komik lawas yang covernya dibuat dengan sangat asal-asalan (judulnya: "Lima Jari Setan"). Gubraaak!!

Banyak faktor lain yang membuat kotak itu semakin kecil. Dengan perhitungan sekilas pandang (dan tidak ilmiah), pasar komik buatan komikus Indonesia bisa dirumuskan demikian:
prosentase komik Indo dibanding keseluruhan komik yang terbit dalam satu waktu x prosentase distribusi.
Jika hanya ada 5 judul komik Indonesia, sementara ada 100 judul manga (artinya komik lokal hanya 5% saja), dan komik indonesia didistribusikan hanya ke 25% toko-toko buku dibanding distribusi manga, maka artinya pasar komik Indonesia hanya 25% dari 5%, atau sekitar 1% pasar. Yang lebih gawat, angka 5% mungkin terlalu tinggi, dan angka 1% hanyalah tingkat visibility product-nya saja, belum mengukur tingkat laku tidaknya. Hmmm...

Tapi perhitungan saya sangat bisa salah (dan semoga salah), karena dari waktu-ke-waktu toh beberapa orang memiliki perhitungan yang berbeda, dan kemudian berani mengambil langkah mendukung penerbitan komik Indonesia.




Gambar cover diambil dari web anelinda-store.com

Minggu, 12 Oktober 2008

Belajar Moral dari Komik (2)


Dilanjut lagi soal belajar moral dari komik. Komik lain yang sangat berkesan adalah "The White Lama" (sudah diterbitkan di Indo oleh KPG). Komiknya mengambil setting di Tibet dan bercerita tentang korupnya kehidupan di dalam kuil Budha. Ini mengingatkan saya pada kondisi negeri kita sendiri yang meski di luaran tampak seperti masyarakat yang agamis, tapi hipokritnya luar biasa. Korupnya sedemikian mengakar ke sistem sampai2 para pelakunya sering ngga sadar kalau sudah korupsi. (Wah jangan sampai kebablasan ngomong soal korupsi ah, bisa panjang). Nah, pokok ceritanya, adalah seorang Gabriel, orang tibet keturunan kulit putih yang sebenarnya memiliki hak untuk menjadi pemimpin kuil, namun karena rekayasa para sesepuh yang rela menghalalkan segala cara untuk menggenggam kekuasaan, maka Gabriel harus tersisih dan sebagai gantinya kuil dipimpin oleh seorang bocah idiot yang menurut pertanda adalah titisan sang dalai lama. Tentu ini akal-akalan para koruptor di kuil agar bisa memiliki "kaisar boneka" (meminjam istilah komik Trigan).
Wah saya ngga mau cerita detilnya - entar kepanjangan. Intinya adalah, pada bagian pamungkas cerita, ketika Gabriel menyerbu masuk, seorang diri, ke dalam kuil, ia harus berhadapan dengan puluhan biksu bermata gelap dan pedang terhunus. Teorinya, nggak mungkin Gabriel seorang mengalahkan semuanya. Tapi aneh, saksi mata melihat, setiap biksu yang mencoba menyabitkan pedangnya ke arah gabriel selalu terluka sendiri dan ambruk, dan itu terjadi pada setiap biksu jahat yang menyerang Gabriel.

Setelah kejadian itu berlalu, Gabriel menerangkan. Nah ini kata-katanya yang saya sangat suka. Katanya, "Setiap orang yang melakukan kejahatan pada orang lain, sebenarnya dia sedang melakukannya pada diri sendiri". Byaak! Kata-katanya seperti lampu yang tiba-tiba menyala (buat saya lho, entah buat anda). Karma! Itu yang sedang dimaksudkannya, tapi dia mengatakannya dengan begitu tepat (karena Gabriel juga sekaligus menerangkan makna kata-kata dalam konteks yang sangat literal).

Saya sangat menyukai kata-kata itu, dan efeknya masih sangat kuat hingga saat ini. Setiap saat saya harus melakukan sesuatu, saya berpikir dua kali agar jangan sampai hal yang akan saya lakukan merugikan orang lain, karena akhirnya akan merugikan saya sendiri (aah, anda kan pasti begitu juga ya, apa hebatnya saya kalo gitu coba). Tapi ada sedikit pandangan yang berbeda setelah saya baca komik itu, kalo saya biasanya sebel dan benci melihat orang yang neko-neko atau jahat, saya jadi sering berpikir kasihan pada para pelaku kejahatan itu. Kasihan ya mereka, mereka ngga ngerti kalo mereka sedang menyusun kejahatan untuk diri mereka sendiri. One way or another, gimanapun juga, karma itu akan datang, jadi, waspadalah! waspadalah!

Nah, segitu besarkan kekuatan moral cerita dari sebuah komik? Well, komik itu hanya sebuah kemasan, sama seperti novel, film, puisi atau apapun. Di dalamnya bisa terkandung makna, bahkan dari jenis yang paling dasyat sekalipun....

Belajar Moral dari Komik (1)


Belajar moral dari komik? Apa mungkin? Ya mungkin lah. Karena dalam segala alkisah yang ditulis, nilai moral biasanya menjadi dasar yang ingin disampaikan melalu cerita. Yang baik selalu menang melawan si jahat, yang jujur akhirnya mujur atau si malas akan menuai buah tabiatnya. Tentunya jenis moral cerita sangat beragam, hampir sebanyak jumlah kisah itu sendiri.

Berbicara mengenai moral cerita dari komik, paling tidak saat ini saya teringat dua cerita yang sangat berkesan bagi saya dari segi moralnya. Yang pertama adalah "Powers: Who Killed Retro Girl" (sudah diterbitkan di Indo oleh PMK). Pada bagian dimana sang pembunuh terungkap dan harus digiring oleh polisi menuju pengadilan, seorang superhero menghajarnya dengan tembakan yang langsung meluluhlantakan si pembunuh menjadi gumpalan debu. Bukan itu yang berkesan, tetapi kata2 si superhero setelah ia melakukan main hakin sendiri. "Pengadilan hanya akan memberikan ketenaran bagi serangga yang tidak layak mendapatkannya."

Waduh! Dalem. Saya jadi inget sama si Oerip jaksa korup, yang kian tenar karena expsosure di tv, lalu ada si jagal dari jombang yang juga makin tenar layaknya selebriti. Banyak lagi nama-nama lain yang takutnya kalo saya sebut justru bikin mereka tambah tenar. No way lah. Karena televisi sudah menjadi media ketenaran, siapapun ingin jadi tenar. Biar germo yang cuma muncul sebagai siluet dengan suara dipalsukan, atau copet, atau mantan rampok (yang korbannya rampokannya tetap trauma), bersedia muncul di tv demi ketenaran, dengan definisi mereka sendiri-sendiri. Begitu meracunnya ketenaran sehingga orang bersedia melakukan apa saja untuk itu. Di dunia barat sana, beberapa kali kita lihat dalam bentuk tema cerita film, begitu dalam keinginan untuk tenar dapat menjadikan seseorang melakukan hal yang paling terkutuk sekalipun.

Di negara kita, pertimbangan moral untuk perlu atau tidaknya memberikan ketenaran bagi para "serangga" tidak dilakukan. Tukul dalam acara Empat Mata-nya sengaja mengundang seorang pencopet (atau mantan -- gak ada bedanya, toh dompetnya belum pada dibalikin) untuk diwawancara, baik teknik maupun pengalamannya. Gila! Tukul memang ngga pinter2 amat, tapi mengundang pencopet untuk wawancara? Saya ngga tega harus nyebut apa... Di kesempatan lain, Andy Noya di acara Kick Andy mengundang mantan perampok sebagai bintang tamunya. (Bung Andy, saya suka ketika anda mendatangkan manusia2 yang berguna dan inspiratif, tapi please jangan lagi undang mantan penyandang profesi2 tercela ke dalam acara anda). Produser acara memang suka ketika tayangannya diperbincangkan orang untuk beberapa hari kedepan, dan rasanya hanya untuk hal seperti itu they're willing to go to hell and back. Semua hanya demi sedikit bumbu acara agar menjadi sensasional.

Di tahun 80-an, ada gerakan rahasia di negeri ini untuk membasmi para preman. Istilah Petrus atau Penembak Misterius begitu populer. Mereka yang memang preman atau yang bertato harus hidup dibayangi ketakutan. Banyak pagi ketika di ujung jalan, di dalam tong sampah, di bawah timbunan koran ditemukan mayat-mayat bertato. Suatu cara untuk menghindarkan para serangga masyarakat dari "ketenaran". Tak perlu pengadilan, tak perlu hak asasi, tak perlu basa basi. Buktinya cara yang dianggap tak manusiawi oleh sekelompok orang (yang belum pernah jadi korban kejahatan) ini manjur menurunkan angka kejahatan. Petrus jadi superhero masa itu dan jika komik Powers sudah ada waktu itu, bisa jadi komik ini dituduh memprovokasi ide main hakim sendiri.

Balik lagi ke komik, si superhero di Powers mungkin tidak dapat dibenarkan ketika melakukan main hakimnya sendiri, tetapi dia mengucapkan pembenaran yang sangat masuk akal. Memang begitu kenyataannya, pembenaran harus acapkali bertolak belakang dengan kebenaran, sekalipun itu benar adanya... nah, bingung kan.

Jangan Baca Komik Indonesia!


Wah, judulnya memang begitu, tapi percayalah, saya suka koq komik Indonesia. Sungguh. Kalau judulnya seseram itu diatas, tentu ada alasannya, dan bukan itu anjuran saya yang sebenarnya. Saya ingin menarik perhatian dengan judul itu. Ya maklumlah, seperti juga harian ibukota yang harus bersaing membuat sensasi dengan headline agar laku, saya juga ingin diperhatikan dengan judul yang mungkin (sedikit) provokatif.

Kenapa sampai saya punya judul seperti itu tentu tetap berdasar. Beberapa kali saya mengikuti serial komik karya komikus Indonesia, dan akhirnya selalu kecewa karena seri yang tidak berkelanjutan. Contoh pertama, seperti yang sering dibahas di milis untuk kasus kemandegannya, misalnya "Dua Warna". Komik ini hanya terbit sampai jilid 4 dan tidak diketahui kelanjutannya. Ada juga "Alakazam" yang bernasib sama. Padahal kedua komik ini diterbitkan oleh penerbit besar (Gramedia).

Penerbit Misurind juga termasuk yang tega menghentikan seri-seri wayangnya. Padahal buku-buku terbitan mereka cukup digemari dan sudah digarap dengan sungguh2, melibatkan komikus-komikus handal. Sebut saja Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Hasmi dan Wid NS. Tapi seri wayang Misurind itu harus putus di tengah jembatan. Lagi-lagi pembaca harus gigit jari.

Sekitar tahun lalu saya membeli komik Berandal karya Bayuindie. Karena penerbitnya Indira, yang sudah cukup punya nama, saya tidak takut komik lokal ini bakal mandeg di tengah jalan. Saya salah lagi, berandal hanya terbit hingga nomor 2. Lanjutannya? Silahkan gigit jari... sampai putus.

Beberapa kasus di atas tentu hanya sedikit contoh dari begitu lemahnya konsistensi penerbit dalam mendukung industri komik dalam negeri. Usaha yang sudah dilakukan tentu patut dipuji, tapi jika usaha yang dilakukan hanya setengah hati dan justru membuat orang kapok membaca, apalagi membeli komik lokal, ini tentu efek yang tidak diinginkan dan (siapa tahu) berefek jangka panjang.

Komik lokal sering diberi embel-embel "Baca Cergam!" (meski Cergam istilah yang kurang tepat untuk komik) dan "Bangga Komik Bangsa", waah dengan prestasi putus di jalan, mestinya para penerbit memasang embel-embel "Pasti tamat!" atau "Pasti terbit semua".

Baru-baru ini, majalah Conceptz mengeluarkan komik Alia, sudah ada 2 judul terbit dari 6 yang direncanakan. Komiknya memang keren, dan dikerjakan oleh para idealis. Tapi saya ingat lagi, "Dua Warna" dan "Alakazam" juga cukup keren waktu itu, dan dikerjakan oleh idealis juga. Secara statistik, Alia tidak akan terbit hingga 6 judul. Secara statistik, serial ini akan mandeg ditengah jalan. Tapi (sungguh) saya berharap, statistik salah, dan serial Alia bisa terbit hingga tuntas.

Saya sendiri sedikit kapok. Tapi apakah saya sedikit atau banyak kapok, efek jeranya sama, saya kini berpikir dua kali untuk membeli komik Indonesia. Mending tunggu dulu sampai sudah terbit semua, baru beli semuanya sekaligus.


(gambar diambil dari www.sangkolektor.i-dealogic.com)